Semasa
kecil, saya ingat sekali kenangan yang dilalui saat duduk di bangku taman kanak-kanak.
Sekolah saya letaknya tidak jauh dari kota. Setiap paginya selalu diantar oleh
paman karena orangtua saya sibuk dengan pekerjaannya. Saya bukan orang yang
pandai mencari teman sehingga sering melewati hari-hari dengan kesendirian.
Ketika jam istirahat tiba, semua anak pastinya gembira. Disaat itulah waktunya semua
anak bisa melakukan hal yang menyenangkan seperti bermain, bercanda, berkumpul
bareng teman, ada juga yang memakan bekal makanan dari rumah, dan semacamnya.
Biasanya saya mengisi waktu tersebut dengan bermain permainan favorit saya
yaitu ayunan. Entah apa alasan saya menyukainya, mungkin saya merasa senang dan
takjub ketika berada di atas ayunan. Sempat saya memimpikan untuk memiliki
ayunan di perkarangan rumah, berharap ingin memiliki semua permainan yang ada
di sekolah. Sambil bermain, tidak lupa saya jajan makanan favorit saya yaitu
sebungkus biskuit jagung dan sekotak susu coklat. Yah, saya tidak seperti anak
yang lain membawa bekal makanan. Dimana bekal makanan yang mereka bawa dibuat
oleh ibu kesayangannya dari rumah. Bagi saya itu tak mungkin, berjumpa dengan
ibu saja sulit apalagi untuk melakukan hal tersebut. Saat itu, ibu harus menempuh
pendidikannya di luar kota. Seminggu sekali ibu bisa pulang dan ayah saya pun
bekerja dari pagi hingga malam. Sungguh mereka jarang di rumah, kebanyakan saya
menghabiskan hari-hari bersama paman dan nenek di rumah.
Terkadang
saya memikirkan, kenapa ibu dan ayah bersikap seperti itu? Apa mereka tidak
sayang denganku? Apa pekerjaan mereka lebih penting dariku? Tidak inginkah
mereka memahami perasaanku? Ingin sekali seperti anak-anak yang lain dimana
orangtua mereka banyak memiliki waktu untuk anaknya. Mengantar, menjemput,
jalan-jalan. Makan masakan ibu, dan semacamnya. Saat itu, saya belum berpikir
panjang. Saya hanya memikirkan dari sebelah mata, mementingkan urusan pribadi
sendiri tanpa mau mengerti apa yang dialami orangtua. Setiap ayah pulang dari bekerja,
saya hanya bisa diam berkurung di kamar. Melakukan hal itu sebagai tanda protes
bahwa mengapa ayah tidak meluangkan waktu untukku. Begituh juga ibu, disaat
hari pekan ia pulang ke rumah. Tidak ada hal yang bisa saya lakukan, hanya bisa
mendiamkannya tanpa ada hal yang bisa disampaikan.
Sampai
suatu hari saya jatuh sakit dan harus dirawat inap. Saya terkena penyakit demam
berdarah, kondisiku saat itu kian hari melemah. Terbaring lemah di atas kasur dan sekamar dengan seorang
pasien yang umurnya sebaya denganku. Ia mengindap sakit sama halnya dengan yang
saya alami. Mendengar kabar itu, ayah yang saat itu berada di luar kota segera
memtuskan kembali untuk melihat kondisiku. Ibu yang dari awal mengantar diriku
tak henti-hentinya menangis. Tak ada sedetik pun yang terlewat untuk ibu
melepaskan pelukannya dari tubuhku. Saya bingung kenapa mereka bersikap seperti
itu. Separah itukah kondisiku? Apa tak ada harapan lagi untuk sembuh? Dan
ternyata, nasib baik meghampiriku. Setelah masa kritis, akhirmya saya mampu
pulih kembali. Namun, itu tak berlaku untuk teman sekamarku dimana ia tidak
seberuntung diriku. Ia harus meninggalkan dunia ini dengan umurnya yang masih
belia.
Setelah
kejadian itu, saya menyadari betapa sayangnya mereka padaku. Ternyata, selama
ini mereka melakukan hal itu semua untuk anaknya. Ayah yang harus bekerja dari
pagi hingga sore, trerkadang harus dinas luar kota, harus pergi meninggalkan
keluarganya dengan berat hati. Dan ibu yang harus menyelesaikan pendidikannya
di luar kota sebagai syarat untuk bekerja. Perjuangan mereka sangatlah berat,
tidak ada orangtua yang bahagia jika harus terpisah dari anaknya. Ibu yang
harus bolak-balik antarkota setiap minggunya hanya untuk melihat anaknya di
rumah. Tidak peduli rasa capek dan letih yang ia rasakan, tetapi demi bertemu
anaknya ia rela melewati itu semua. Ayah yang meski tidak bisa meluangkan
banyak waktu untukku. Tetapi, ia sungguh amat perhatian denganku. Ketika saya
sakit, ia rela meninggalkan segala urusannya yang penting dan menangis atas
kondisi yang saya alami. Memang saya tidak pernah melihat ayah menitihkan air
matanya, namun saya bisa merasakan itu. Tanpa saya sadari, sesibuk apapun
mereka. Mereka masih sempat meluangkan waktunya untukku. Mereka selalu
membayangkan apajadinya anak mereka kalau ayah dan ibu tidak bekerja. Tidak mau
anaknya kekurangan apalagi soal pendidikan dimaana harus membutuhkan biaya yang
banyak. Berharap kelak anaknya akan sukses dan mampu hidup lebih baik dari
mereka sekarang. Mereka tak mengharapkan balasan apapun dari anaknya, cukup
melihat anaknya hidup bahagia saja lebih dari cukup.
Sampai suatu hari umurku bertambah dan kini mulai memasuki masa remaja.
Saat itu saya berumur 15 tahun, akhirnya saya mulai memberanikan diri untuk
menanyakan semua pertanyaan yang selama ini ada dibenakku kepada ayah dan ibu.
Selama ini hanya bisa memendamnya sendiri, hanya dengan mengutarakannya melalui
serangkaian kata yang saya tuliskan di sebuah diary. Dimana disetiap lembarannya saya tuliskan perasaanku entah
itu sedih, senang, marah, kecewa, dan semacamnya.
Pada kesempatan itu saya tidak menyia-nyiakannya karena sulit sekali
mendapatkan waktu untuk berkumpul bersama. Saya ungkapkan apa yang saya rasakan
terhadap mereka. Saya tanyakan semua pertanyaan yang selama ini terpendam
sambil menatap kedua wajah mereka. Ternyata nyaman sekali rasanya bisa
berbincang-bincang dengan ayah dan ibu. Saya bisa jujur kepada mereka tanpa ada
hal yang perlu saya tutupin. Meski saya senang, saat itu saya melihat wajah
ayah dan ibuku dengan seksama. Tanpa saya sadari, mata mereka kini tidak lagi
cerah seperti dulu, matanya menyiratkan kelelahan, kulit mereka tidak lagi
segar, kini mulai tumbuh keriput keriput kecil di sisi mata kanan dan kirinya.
Tiba-tiba saya berpikir,” Ya tuhan, apakah saya yang menyebabkan kondisi
ayah dan ibu begini? Apa yang mereka pikirkan selama ini? Apa mungkin mereka
tidak pernah merasa lelah sehingga terkadang lupa untuk beristirahat?
Setidaknya ayah dan ibu peduli akan kondisi mereka?”. Terlihat jelas begitu
besar rasa lelah dari raut wajah mereka. Setiap hari mereka terus bekerja,
berjuang agar anaknya bisa sekolah dan menabung untuk masa depan
Sungguh saya tidak menyadari semua itu, banyak waktu yang terbuang sia-sia.
Saya abaikan mereka, tidak mau mengerti akan kondisi ayah dan ibu. Ketika ayah
dan ibu menanyakan kabarku, saya tinggalkan mereka. Saya sering protes kepada
mereka karena mengganggap ayah dan ibu tidak mau mengerti perasaanku.
Menghadiahkan dengan sebuah prestasi di sekolah saja, saya tidak sanggup. Saya
sering memberikan raporku yang nilainya tidak memuaskan. Tapi ayah tidak pernah
memarahiku malahan dia memberikanku motivasi untuk belajar lagi di semester
berikutnya. Apalagi menggantikan uang yang
telah mereka keluarkan selama ini untuk membiayaiku.
Begitu banyak dosa dan kesalahan yang telah saya lakukan terhadap mereka.
Saya sangat menyesal, jika bisa kembali ke masa lalu saya ingin memperbaiki
sikapku. Saya ingin banyak menghabiskan waktu bersama mereka, mengerti
perasaannya, tidak akan mengecewakannya, ingin membanggakannya, dan segala hal
yang mampu membuat ayah dan ibu bahagia. Tapi kenyataannya, tidak ada satupun
yang bisa saya lakukan. Menyesal pun kini tak ada gunanya.
Maka masih pantaskah saya berharap ayah dan ibu memahamiku? Pantaskah saya
jejali hari-hari melelahkan mereka dengan cerita-ceritaku yang membosankan? Seharusnya saya yang membuat
mereka bahagia dan membuat mereka tertawa. Seharusnya dari dulu saya berpikir
lebih dewasa. Ayah, ibu, kumohon maafkanlah segala kesalahanku selama ini.
Mulai sekarang, saya tidak akan pernah berpikir untuk iri dengan anak-anak
yang lain, tapi saya sangat amat bangga karena memiliki orangtua terbaik dan
terhebat di dunia. Dan cita-citaku kini, ingin membanggakan ayah dan ibu
melalui prestasi dan menjadi anak yang berbakti.
Sahabatku, saya ingin menyampaikan pesan bahwa “Sungguh kita tidak akan
pernah sanggup membayar atas apa yang dilakukan oleh orangtua kepada anaknya.
Begitu banyak hal yang mereka berikan dan korbankan demi kesejahteraan anaknya.
Janganlah kita berpikir bahwa rasa lelah dari seorang anak lebih besar dari
yang dirasakan orangtua, karena sampai kapan pun itu tak akan pernah sebanding
dan cobalah untuk berpikir dewasa. Sebab, disaat itulah kita mampu melihat
kehidupan ini dengan berbagai sisi sehingga mampu menyadari bahwa hidup ini
sangatlah indah.
Komentar
Posting Komentar